Ratna Sofia

Author

Ini Pelita Punya Nama. Dia Guru Beta.

Leave a Comment
Bahwa ketika film Laskar Pelangi sedang booming, saya adalah orang yang gak berhenti terharu dengan ceritanya. Sosok guru yang tergambar oleh Bu Muslimah, melempar jauh memori saya di sebuah Sekolah Dasar, tempat saya dididik.

Demi Allah, tulus itu nyata adanya. Ketulusan dari guru-guru di SD itu membekas sekali di benak saya. Ketulusan yang bisa saya rasakan sampai ke ulu hati.

SD Negeri 1 Paket Agung

Bukan sekolah ter-unggul di zamannya. Cenderung sekolah biasa saja. Tapi Ayah memilihkan tempat ini untuk saya. Mungkin karena jaraknya yang dekat dengan rumah, atau probabilitas lain yang baru akan saya ketahui di suatu dimensi.

Terbiasa menjadi yang terbaik di kelas, membuat saya tumbuh jadi orang yang tak kenal kalah. Di bilangan masa yang lain, ini menjadi jurang curam buat saya. Akademik, akademik, dan akademik. Saya jadi penghafal tercepat di pelajaran sejarah, menjadi penghitung tercermat di matematika, tapi kuncup di pelajaran Bahasa Bali. Saya juga payah di olahraga. Apalagi senam. Kalau ada dua pelajaran yang jadi momok buat saya ikuti, itu pasti Bahasa Bali dan Penjaskes.

Kelas 1 Bu Wayan, Kelas 2 Bu Suci, Kelas 3 Bu Sri, Kelas 4 Bu Jero, Kelas 5 Bu Swadaya, Kelas 6 Bu Resni.

Saya cuma perlu waktu 10 detik buat mengetikkan nama-nama di atas. Betapa saya mengingat mereka, tanpa bantuan. Guru 6 tahun. Wali kelas saya di setiap jenjangnya.

Murid Teladan

Adalah milestone untuk saya mengetahui betapa ketulusan itu besar sekali, bulat, dan utuh. Mewakili sekolah untuk ajang Murid Teladan, ajang paling bergengsi di level SD. Bertaruh dengan ratusan siswa terbaik dari seluruh penjuru SD di kecamatan.

Sulit bagi saya untuk memutar detail ini. Tapi perjuangan guru SD saya, adalah bukti ketulusan yang betul-betul tulus. Izinkan saya bercerita sedikit tentang mereka.

Adalah Ibu Resni, guru tertua, berperawakan amat kurus, dengan motor Supra hitam tuanya, bolak-balik membonceng saya ke kantor dinas untuk sekedar melengkapi administrasi. Keriput yang membungkus hampir seluruh pipinya, dengan kacamata dan senyum khas, yang bolak-balik menghantarkan saya mempersiapkan segala keperluan. Beliau, melelang sebagian besar waktunya untuk anak didiknya. Ibu Resni, adalah guru terbaik di sepanjang hidup saya. Yang akan terus saya ingat nilai, jasa, dan perjuangannya.

Ibu Yasmari, guru keturunan Belanda, sang pengajar Matematika yang terkenal kiler, namun membuka pintu rumahnya lebar-lebar buat saya. Matematika menjadi bidang terkrusial di ajang itu. Namun, sang guru berkulit amat putih dan mata bulat khas Nonie Belanda ini mengalirkan ilmu menghitung cepat dengan caranya. Tanpa bayaran. Saya rutin ke rumahnya. Pun sebaliknya, Ibu Yasmari, sering sekali bertandang ke rumah kami, dengan sepeda motornya (yang tentu lebih apik dari Bu Resni), untuk menguji kemampuan matematika saya. Sekali lagi, tanpa bayaran.

Kepala Sekolah saya. Yang sosoknya saya kagumi hingga kini. Kata-katanya yang mampu memberikan energi dan volt di hati. Dari kursi nomor satu di depan, saya menggumam tekad saat itu.

Pak Agung, guru Kelas B, yang membimbing saya di bidang kesenian. Bidang kedua yang dilombakan di ajang itu. Beliau meluangkan waktunya hampir setiap hari untuk saya kunjungi rumahnya, dan belajar membuat bunga yang apik. Beliau, juga guru yang sabar mendengarkan lantunan piano saya yang pas-pasan.

Ibu Jero, guru penuh kasih. Yang saya tahu beliau menyayangi saya sepenuh hati. Pak Asmat dan Pak Yasin, yang pertama kali mengenalkan kami akan gugus dan macam-macam rasi bintang di langit malam Bali yang tanpa polusi.

Yang akhirnya kesemua mereka tersenyum, untuk sebuah piala yang berhasil saya bawa. Juga untuk sebuah potret koran terlaris di Bali, berfotokan saya dan Kepala Sekolah dengan latar SD Negeri 1-2 Paket Agung. Sekolah non-unggulan, yang akhirnya mencatatkan diri dengan deret pretasi. Kerja keras yang terbayar oleh guru-guru tertulus, di masanya.


Untuk mereka, guru-guru terhebat, dengan cucur keringat yang hangat, saya berdoa untuk alir pahala yang tak putus untuk mu.

Selamat Hari Guru.
Esok atau lusa, jika masih ada usia, izinkan saya bertamu. Dan untukmu yang telah menutup usia, semoga doa ini bisa melapangkan kubur dan meneranginya, sebagaimana engkau yang menjadi pembuka cahaya bagi kami.


Terimakasih.. Sang Pelita!

Diambil di Replika SD Muhammadiyah Belitong

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Please leave your comment here :