Ratna Sofia

Author
I like traveling, a lot.
Because I believed, people who travel a lot, must be having a good point of view of life. And still appreciate people who has different perspective with her/him-self.

Saya berekspektasi demikian ke semua mereka yang menyukai perjalanan. Seringnya mereka lihat dunia luar, berinteraksi dengan orang yang sama sekali asing, beradaptasi dengan cuaca, makanan, suasana; sudah menjadi cukup variabel untuk mereka punya sudut pandang yang harusnya lebih luas, dan lebih bijak.

Pun, ekspektasi ini pernah saya titipkan ke teman saya yang menyukai perjalanan. Beliau ini saya rasa punya sudut pandang yang bagus, tapi entah, terakhir ia terlalu memaksakan perspektif pribadinya. I got you wrong, dude 😔. Tapi saya bukan penganut paham stereotye, kok. Saya selalu mencintai waktu yang dihabiskan untuk ngobrol bareng dia atau mereka yang punya banyak sekali bahan di kepalanya. Entah karena sering baca buku, atau juga khatam dengan berbagai perjalanan. Enak betul diajak ngobrol, bicarain apa saja jadi nyambung.


Saya percaya, masing-masing kita punya sudut pandang. Yang menjadikannya berbeda bisa karena gender, ekspektasi, pengalaman, kebiasaan, dan banyak hal lainnya. 


Sok tahu saya, saya bisa membayangkan hal kecil ini :
Misalnya nih kamu seorang wanita yang jago masak, ya lakukan; tunjukkan. Dan biarkan kaum adam dan kaum hawa lainnya menikmati. Janganlah sibuk mencerca mereka yang tak berpengalaman memasak. Dibawa happy aja kenapa sik. Kan, selayaknya kita senang kalau banyak yang menikmati. Nanti biarin kaum adam-nya yang nganterin ke pasar, mungkin? 

Begitu juga, kalau elo sebagai cowo bisa benerin genteng bocor, ya jalani dong. Dan biarkan kaum hawa merasa aman berlindung di bawah genteng yang sudah tak bocor lagi. Bukankah itu membanggakan? Lagian si kaum hawa atau kaum adam lainnya yang ga ikutan naik genteng, rasanya ga mungkin diam gitu aja. Mereka bisa jadi penghibur yang baik, pendingin suasana dengan humor-humor ga lucunya, atau bahkan mereka bisa siapin elo pisang goreng. 


--

Kurang-kurangi berfikir kalau semua orang bisa  seperti kamu. ^^


AH Resto
1:21 PM.
Al Qasba, 24 Desember 2016.

Ini adalah akhir dari minggu kedua saya disini.
Selama dan dalam perjalanan, ada banyak hal yang terekam. Baik di kamera, pun di kepala. File di kamera terus menumpuk, satu-satu mungkin akan terhapus. Ingatan di kepala apalagi. Bisa usang jika tak sering mengingat.

Untuk itu, saya catatkan sedikit rekamnya disini.

Home of Lights.
Adalah kesan pertama waktu pesawat kami melayang di atas permukaan Dubai. Belum pernah saya melihat gugus cahaya seperti itu. Lampu-lampu kuning keemasan menyemut rapi, membentuk pola mengagumkan

Courtesy of dailymail

Begitu pula setelah mendarat dan berkeliling kota. Tidak satu sudutpun tertinggal tanpa cahaya. Semua partikel rasanya bisa memantulkan kilau.


Pencakar Langit.
Negeri ini adalah gugus yang ditutupi oleh pencakar-pencakar langit. Nyaris semua sudut! Hanya ada gedung, gedung, gedung, dan gedung yang tak berjarak, kecuali spasi seluas lahan parkir.

Ya, semua orang pasti tahu landmark Republik ini. Burj Khalifa. Bangunan tertinggi di dunia yang pernah dibuat oleh manusia. 160 lantai, dengan ketinggian 2.717 kaki dari atas permukaan bumi.

Courtesy of Emaar
Too high!

Jangan sedih. Burj Khalifa tak sendiri. Ada Burj Al Arab, si hotel bintang 7 yang jadi hotel tertinggi ketiga di dunia. 

Burj Al Arab from Jumeirah Hotel

Burj Al Arab from Jumeirah Beach


Jangan sedih. Mereka tak berdua. Ada lebih dari 150 bangunan yang dikategorikan pencakar langit dunia yang ‘berdomisili’ di Republik ini.


Rekayasa Manusia
Inilah negeri dengan rekayasa manusia paling dahsyat. Dubai, sebagai salah satu dari 7 Emirat di UAE, adalah kota dengan arsitektur yang luar biasa.

Pulau Buatan : The Palm Jumeirah.
Pulau Palm dan The World, di Dubai, adalah pulau buatan manusia terbesar di dunia. Pulau ini panjangnya hampir 500 km ke garis pantai Dubai. Kebayang dong gimana laut 'diurug'? Tercatat ia menghabiskan 94 milyar meter kubik pasir.

Courtesy of Traveldigg

Courtesy of Traveldigg
Next to Atlantis The Palm. Hotel tertinggi yang ada di pulau ini.


Dubai Miracle Garden
Si Kebun Ajaib Dubai ini adalah kebun taman bunga alam terbesar di dunia yang luasnya mencapai 72.000 meter per segi dan punya lebih dari 45 juta bunga.

Di belakang si Bapak dan Ibu, adalah pesawat Emirates  beneran (bukan replika) yang seluruh tubuhnya dibungkus bunga. Kebayang dong pesawat Emirates betulan besarnya segede apa?


Dubai Mall
Mall Dubai adalah mall terbesar di dunia dengan keseluruhan areanya. Di mall ini terdapat akuarium terbesar kedua di dunia, panel akrilik terbesar di dunia, dan toko permen terbesar di dunia. Dari tempat ini juga kita bisa menyaksikan bangunan paling tinggi di dunia itu. Menonton pertunjukan air mancur yang megah, berlatar Burj Khalifa.

Dubai Mall

Segala rangka Dinosaurus ada di Mall ini :')


Ferarri World
The one and only, Ferrari World di Abu Dhabi. Dengan rangka ruang terbesar yang pernah ada.

Courtesy of Royalpark
Cheers

Next to Ferrari Car
Personil Kurang 1, Kapten!


Global Village
Bukan Dubai namanya, kalau bikin yang biasa aja. Tempat ini terklaim sebagai projek pariwisata, rekreasi, dan pusat perbelanjaan dunia terbesar.  Elo mau berkunjung ke benua apa aja ada disini. Bisa ke China, ke Turki, Mesir, Jerman, New York, Paris, Inggris, dan ratusan negara lainnya dalam satu hari. :)) Jadi bisa dibilang dengan seharian kesini, saya udah keliling dunia kemarin itu :))

Lagi main ke Inggris :))

Ini di Mesir. Depan Sungai Nil :))


Telur Ceplok Moment
Adalah satu dari sebaris hal yang membuat saya jatuh hati. Hampir setiap sore mata kami disuguhi kuning telur dari Telur Ceplok yang bulat sempurna.



Tak ada hujan disini.
Pun tak ada mendung yang berani menghinggapi si Telur Ceplok.

:))

---

Hingga tulisan ini dibuat, saya menyadari bahwa saya dibuat jatuh cinta akan hal-hal di atas. Namun, ada kontemplasi yang menghantarkan perasaan saya akan arti pulang. Akan arti rumah, yang ternyata jauh lebih saya cintai.

Bali.
Dengan malam yang ‘sangat pelit’ akan lampunya.
Tapi setiap malam saya bisa memandang jauh ke atas, mengenali berbagai rasi bintang. Jelas, tegas, dan tanpa polusi cahaya.

Bali.
Pulau sekaligus provinsi yang punya peraturan daerah, untuk membatasi bangunan agar tak lebih tinggi dari pohon kelapa. Kecuali tempat peribadatan.
Ada penghormatan dan kesucian yang dijaga.

Bali.
Pulau yang jauh dari rekayasa manusia. Semua tersaji sempurna oleh tangan-Nya.
Gunung, laut, danau, bukit, taman, biota, dan budaya-nya.

Bali.
Pemilik senja yang indah. Meski tak selalu ada telur bulat sempurna yang tidur di ujung garis pantai. Tapi disini ada hujan, yang membungkus bumi dan melahirkan pelangi.



Jadi, siapa bilang dua hal yang 180 derajat berbeda tidak bisa kita cintai keduanya? :)
Berjalanlah. Karena dengan berjalan, kita tahu apa artinya pulang.



Book Cafe Al Qasba.
Dengan secangkir cappucino hangat. Pukul 9.20 PM waktu setempat.


Ada kehangatan yang menyeruak
Dari secangkir cokelat hangat

--

Al Qasba.
Ia berada di pojok terluar dari kedai kopi di sudut tempat ini
Berlatar bianglala,
Yang katanya landmark dari kota bernama Shajrah.

Kau harus tahu
Bahwa ada cerita dan rasa,
Yang tidak bisa diungkap dengan kata maupun gambar

Seperti gadis di pojok kedai kopi ini
Yang menikmati setiap jengkal
Dari sudut negeri yang baru pertama kali ia datangi

Ia merasakan,
Setiap 1 UV yang perlahan timbul dari celah barisan gedung tinggi.
Ia mendengar,
Simfoni dari seribu burung yang hilir mudik menyeberangi sungai.
Ia melihat,
Satu-dua bayi mulai diajak mencari matahari buat menghangat diri.
Ia menghirup,
Wangi cokelat dan pohon kurma yang menyejukkan hati.

Hingga akhirnya..
Ia mencintai,
Garis tangan Tuhan yang menghantarkannya kesini.

Masya Allah.
Indah sekali negeri ini.

--


Sudut Kedai Kopi.
Pukul 08. 08 Pagi.





Setelah sepiring nasi goreng,
Tak juga membuatmu terlihat di balik kaca
Satu kali, dua kali, hingga seratus sebelas kali
Tak jua berbuah tanda.

Telepon genggam dan seruput es teh tawar
Jadi satu-satunya caraku melihat bait dunia
Begitulah, aku ditakdirkan untuk mendengar.
Tapi tidak untuk sebaliknya

Sepiring nasi goreng,
Sudah tak menyisakan rasa.
Kecuali penuh di dalam rongga.
Dua tahun lalu, di bulan ini gue memasukkan lamaran ke Dealoka.
Tahun ini, di bulan ini, nyatanya adalah selebrasi bahwa hampir genap 2 tahun disini.

Bareng mereka "yang itu-itu saja", pun mereka yang silih berganti macam musim penghujan dan kemarau di Indonesia yang sekarang sudah gak tentu datangnya kapan.

Dari anak bawang, sampai tetap anak bawang juga.
Am still dat kid. A kid who is always hungry for new experiences.
My first impression here, just like riding a rollercoaster. Too challenging. Too scary.
Make friends with strangers. Far out of my zone and my previous environment on campus.
But; it's fun.


So what if I had to get off this rollercoaster?
Will I have to try a new game?
Should I re-start everything from the beginning?
Or should I go up again the same vehicle?

--

You know my answer.
Am still dat kid.

Those kids. #IYKWIM



Bahwa ketika film Laskar Pelangi sedang booming, saya adalah orang yang gak berhenti terharu dengan ceritanya. Sosok guru yang tergambar oleh Bu Muslimah, melempar jauh memori saya di sebuah Sekolah Dasar, tempat saya dididik.

Demi Allah, tulus itu nyata adanya. Ketulusan dari guru-guru di SD itu membekas sekali di benak saya. Ketulusan yang bisa saya rasakan sampai ke ulu hati.

SD Negeri 1 Paket Agung

Bukan sekolah ter-unggul di zamannya. Cenderung sekolah biasa saja. Tapi Ayah memilihkan tempat ini untuk saya. Mungkin karena jaraknya yang dekat dengan rumah, atau probabilitas lain yang baru akan saya ketahui di suatu dimensi.

Terbiasa menjadi yang terbaik di kelas, membuat saya tumbuh jadi orang yang tak kenal kalah. Di bilangan masa yang lain, ini menjadi jurang curam buat saya. Akademik, akademik, dan akademik. Saya jadi penghafal tercepat di pelajaran sejarah, menjadi penghitung tercermat di matematika, tapi kuncup di pelajaran Bahasa Bali. Saya juga payah di olahraga. Apalagi senam. Kalau ada dua pelajaran yang jadi momok buat saya ikuti, itu pasti Bahasa Bali dan Penjaskes.

Kelas 1 Bu Wayan, Kelas 2 Bu Suci, Kelas 3 Bu Sri, Kelas 4 Bu Jero, Kelas 5 Bu Swadaya, Kelas 6 Bu Resni.

Saya cuma perlu waktu 10 detik buat mengetikkan nama-nama di atas. Betapa saya mengingat mereka, tanpa bantuan. Guru 6 tahun. Wali kelas saya di setiap jenjangnya.

Murid Teladan

Adalah milestone untuk saya mengetahui betapa ketulusan itu besar sekali, bulat, dan utuh. Mewakili sekolah untuk ajang Murid Teladan, ajang paling bergengsi di level SD. Bertaruh dengan ratusan siswa terbaik dari seluruh penjuru SD di kecamatan.

Sulit bagi saya untuk memutar detail ini. Tapi perjuangan guru SD saya, adalah bukti ketulusan yang betul-betul tulus. Izinkan saya bercerita sedikit tentang mereka.

Adalah Ibu Resni, guru tertua, berperawakan amat kurus, dengan motor Supra hitam tuanya, bolak-balik membonceng saya ke kantor dinas untuk sekedar melengkapi administrasi. Keriput yang membungkus hampir seluruh pipinya, dengan kacamata dan senyum khas, yang bolak-balik menghantarkan saya mempersiapkan segala keperluan. Beliau, melelang sebagian besar waktunya untuk anak didiknya. Ibu Resni, adalah guru terbaik di sepanjang hidup saya. Yang akan terus saya ingat nilai, jasa, dan perjuangannya.

Ibu Yasmari, guru keturunan Belanda, sang pengajar Matematika yang terkenal kiler, namun membuka pintu rumahnya lebar-lebar buat saya. Matematika menjadi bidang terkrusial di ajang itu. Namun, sang guru berkulit amat putih dan mata bulat khas Nonie Belanda ini mengalirkan ilmu menghitung cepat dengan caranya. Tanpa bayaran. Saya rutin ke rumahnya. Pun sebaliknya, Ibu Yasmari, sering sekali bertandang ke rumah kami, dengan sepeda motornya (yang tentu lebih apik dari Bu Resni), untuk menguji kemampuan matematika saya. Sekali lagi, tanpa bayaran.

Kepala Sekolah saya. Yang sosoknya saya kagumi hingga kini. Kata-katanya yang mampu memberikan energi dan volt di hati. Dari kursi nomor satu di depan, saya menggumam tekad saat itu.

Pak Agung, guru Kelas B, yang membimbing saya di bidang kesenian. Bidang kedua yang dilombakan di ajang itu. Beliau meluangkan waktunya hampir setiap hari untuk saya kunjungi rumahnya, dan belajar membuat bunga yang apik. Beliau, juga guru yang sabar mendengarkan lantunan piano saya yang pas-pasan.

Ibu Jero, guru penuh kasih. Yang saya tahu beliau menyayangi saya sepenuh hati. Pak Asmat dan Pak Yasin, yang pertama kali mengenalkan kami akan gugus dan macam-macam rasi bintang di langit malam Bali yang tanpa polusi.

Yang akhirnya kesemua mereka tersenyum, untuk sebuah piala yang berhasil saya bawa. Juga untuk sebuah potret koran terlaris di Bali, berfotokan saya dan Kepala Sekolah dengan latar SD Negeri 1-2 Paket Agung. Sekolah non-unggulan, yang akhirnya mencatatkan diri dengan deret pretasi. Kerja keras yang terbayar oleh guru-guru tertulus, di masanya.


Untuk mereka, guru-guru terhebat, dengan cucur keringat yang hangat, saya berdoa untuk alir pahala yang tak putus untuk mu.

Selamat Hari Guru.
Esok atau lusa, jika masih ada usia, izinkan saya bertamu. Dan untukmu yang telah menutup usia, semoga doa ini bisa melapangkan kubur dan meneranginya, sebagaimana engkau yang menjadi pembuka cahaya bagi kami.


Terimakasih.. Sang Pelita!

Diambil di Replika SD Muhammadiyah Belitong

Aku mencarimu.
Pada kolom explore di laman instagramku.
Berharap ada jejak dari tujuan singgahmu.

Aku mencarimu.
Meski satu-satunya yang kutahu,
Hanya satu rencana tujuanmu.
Itupun aku ragu.
Jadikah kau kesitu?

Aku mencarimu.
Menagih cerita, yang harusnya jadi hutangmu.
Delapan jam sejak saat itu.

Aku mencarimu.
Untuk mengadu.
Punggung jariku yang terjepit pintu,
kini sudah tak kaku.

--

Baiklah Ikram.
Semoga esok lusa kau tahu.
Aku mencarimu.
Pada pantulan sudut Jogja dan Jakarta.
Di antara paduan merah dan kacamata.

x
Previous PostOlder Posts Home