Ratna Sofia

Author

Si Kecil Papua Menyuntingmu Menjadi Guru!

3 comments

Bodoh dan terbelakang. Sejenak hal itu yang terlintas di benak sebagian orang ketika menyebut anak Papua. Tak bisa berhitung, sulit membaca, mungkin seringkali diidentikkan dengan mereka. Belum lagi ditambah dengan kepribadian yang –kata orang- aneh. Enggan bersahabat, galak, suka merengek, tak jarang menjadi tambahan identitas anak-anak asal Merauke ini. Namun Merlin dan Christian, si kecil dari Papua, secara mutlak mematahkan anggapan dunia tentang tanah kelahiran mereka.


“Si Bodoh Melejit Jadi Kontestan Olimpiade”, begitulah judul berita utama harian Jawa Pos pada Jumat, 15 Januari 2010. Tulisan ini memuat kisah tentang dua sosok bocah kecil yang sedang berlatih Matematika. Kemampuannya berhitung disebut-sebut melebihi kalkulator. Ya, dialah Merlin dan Christian, dua bocah kecil asal Papua. Hanya dalam hitungan detik, Merlin yang berusia 9 tahun mampu menjawab perkalian dari bilangan empat digit! Sementara Christian (11 tahun) mampu menyelesaikan perhitungan akar pangkat lima dari bilangan ribuan! Maha Besar Allah, yang menganugerahkan pengetahuan bagi umatnya. Siapapun, kecuali Profesor Yohanes Surya, mungkin tak pernah menyangka bocah dengan kemampuan ‘sakti’ itu, sepuluh bulan yang lalu tak lebih dari anak-anak bodoh dari kalangan terbelakang, yang bahkan tak memiliki kemampuan berhitung.

Profesor Yohanes dan 'mutiara'-nya .
Jika seluruh dunia mengatakan anak-anak Papua bodoh, maka mereka salah. Dan Profesor Yohanes Surya lah yang benar. “Tak ada anak Indonesia yang bodoh”, itulah yang diyakini pemilik Surya Institute, hingga akhirnya ia meminta kepada Gubernur Papua agar mengirimkan anak-anak ‘terbodoh’ untuk ia didik. Benar saja, tak kurang dari 27anak datang kepadanya. Dan dalam jangka waktu sepuluh bulan kawan, Profesor Yohanes mampu mengubah mereka menjadi anak-anak super yang jago berhitung, cerdas menganalisis dan dibekali ketrampilan soft skill dan hard skill. Tak urung, kenyataan ini membuktikan keyakinan sang Profesor akan kemampuan anak Indonesia tidaklah salah. Bahkan pria lulusan AS ini, mampu menunjukkan pada dunia, bahwa mereka, anak-anak Papua, adalah mutiara!

Sekarang yang menjadi pertanyaan, jika benar seluruh anak Indonesia adalah mutiara, bagaimana mungkin kita masih saja menjadi negara berkembang? Mengapa tetap saja banyak adik-adik kita belum melek aksara? Sementara bukanlah hal yang mungkin mereka melihat dunia tanpa aksara. Ah kawan, satu hal yang tidak kita sadari ; mutiara itu terbungkus lumpur! Lumpurlah yang menyilaukan mata kita, hingga kita beranggapan bahwa anak-anak terpelosok adalah anak-anak yang terbelakang. Lumpur itu pula yang menanamkan benih di benak kebanyakan orang tentang harapan kosong yang mereka miliki. Sia-sia melakukan treatment apapun untuk mensejajarkan mereka dengan anak-anak di kota-kota besar yang dianggap memiliki kemampuan jauh di atas anak daerah ini. Ah, andai saja pemikiran semacam itu tak pernah ada.

Masih banyaknya saudara-saudara kita yang berada di Indonesia paling timur belum mengakses pendidikan dengan layak disebabkan oleh banyak hal, diantaranya kurang mampu dalam segi ekonomi, kurangnya sosialisasi dan kesadaran akan pentingnya pendidikan, keterbatasan sarana dan prasarana, serta yang tak kalah penting; minimnya tenaga pengajar.

Keterbatasan dalam hal ekonomi merupakan salah satu akibat dari kurangnya latar pendidikan masyarakat itu sendiri. Jika saja mereka memiliki latar pendidikan dan keterampilan yang baik, tentu masyarakat daerah ini dapat mengembangkan potensi tempat tinggalnya, tanpa harus ada di bawah naungan perusahaan besar Negara lain yang memperbudak mereka di tanahnya sendiri.

Kurangnya sosialisasi akan pentingnya bersekolah juga menjadi faktor sulitnya akses pendidikan bagi anak-anak Papua. Transportasi yang kurang memadai menjadi salah satu penghambat pemberian sosialisasi terhadap mereka. Jangankan akses internet, media cetak dan elektronik pun sulit terjangkau oleh saudara-saudara kita yang di pedalaman.

Keterbatasan sarana dan prasana adalah suatu hal vital yang sangat menganggu proses belajar mengajar di bumi Kenambai Umbay ini. Seseorang asal Papua menuturkan, di tanah kelahirannya, sebagian sekolah-sekolah yang ada ternyata didirikan di atas tanah hibah dari masyarakat. Sebut saja yang menghibahkan tanah itu adalah si Anu. Ketika anak si Anu masuk di sekolah itu, kemudian ada masalah yang terjadi antara anak dan sekolah, maka si Anu tak sungkan untuk langsung menarik kembali tanah hibah tersebut. Seolah tak peduli dengan nasib anak-anak lainnya, Si Anu dengan sekehendak hatinya menutup sekolah yang berdiri di atas tanah miliknya. Mengenaskan memang. Sementara, masalah prasarana lain, misalnya ketersediaan alat bantu untuk mendukung pembelajaran yang amat terbatas. Jangankan LCD proyektor, perangkat komputerpun masih minim. Untuk sekolah menengah, yang sudah seharusnya terjun untuk praktikum, kendala berupa ketiadaan mikroskop, zat-zat kimia, dan alat praktikum lainnya seringkali menghambat pembelajaran. Ah, betapa angkuhnya kita yang selama ini masih alfa dari rasa syukur akan kemudahan yang selama ini tidak pernah mereka miliki.

Sarana yang jauh dari kata 'layak'
Solusi dari ketiga masalah di atas sesungguhnya ada di tangan Pemerintah. Sudah sewajibnya wakil-wakil kita yang duduk sebagai anggota dewan menyalurkan bantuan baik berupa dana maupun alat-alat penunjang pembelajaran, seperti keperluan praktikum dan sebagainya. Pemerintah harus memberikan dana yang jauh lebih besar kepada daerah-daerah tertinggal ketimbang kota-kota besar yang sudah maju. Idealnya, daerah kemudian menggunakan dana besar tersebut untuk melengkapi sarana dan prasarana umum maupun pendidikan, berupa kemudahan transportasi, penyediaan fasilitas umum dan sebagainya. Dengan demikian daerah potensial seperti Papua, tidak lagi menemui kesulitan akses.

Hambatan terakhir yang akan kita bahas adalah kurangnya tenaga pengajar yang ada di Papua. Lihat saja kondisi salah satu sekolah terkemuka di Papua, yakni SMA Yayasan Persekolahan Kristen (YPK) kabupaten Jayapura. Dikutip dari berita yang dimuat http://www.bintangpapua.com/, Piter Yom, sang kepala sekolah yang ditemui di ruang kerjanya, mengungkapkan minimnya guru eksakta yang ada di YPK. Bagaimana tidak, sekolah menengah atas ini hanya memiliki guru Biologi dan Kimia. Itu pun bukan guru tetap. Sementara, guru Matematika dan Fisika tidak ada, sehingga dua mata pelajaran eksak tersebut terpaksa diisi oleh guru Biologi dan Kimia, yang jelas-jelas bukan merupakan bidangnya. Tidak hanya di bidang eksak, guru Bahasa Indonesia pun sekolah ini alfa memilikinya.

Kawan, SMA YPK hanyalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan sekolah di Papua yang menanti tangan-tangan dingin seorang guru. Guru besar kita, Yohanes Surya telah membuktikan, bahwa hanya perlu pengajaran yang benar untuk melihat kilau mereka yang sebenarnya. Selama ini mereka terlihat bodoh dan terbelakang, tak lebih karena mereka tidak mempunyai kesempatan dan akses pendidikan yang sama dengan kita yang tinggal di kota. Masih banyak anak yang membanting tulang bekerja keras membantu orang tua untuk bertahan hidup, sedangkan untuk mengenyam sebuah pendidikan, bermain dan mengembangkan diri, mereka tidak memiliki kesempatan karena keterbatasan. Ah, akankah kita masih berdiam diri? Sunguh mustahil menunggu lumpur berubah menjadi mutiara hanya dengan berdiam diri. Sama mustahilnya seperti pungguk merindukan bulan hanya dengan menatapnya.
Mereka, anak-anak Papua, tak mengerti dengan carut marut politik tingkat atas. Bocah-bocah itu tak paham akan hak yang harusnya milik mereka, namun diselewengkan. Satu hal yang anak-anak tak berdosa itu tahu adalah mereka ingin sepertimu, seperti anak-anak kota yang punya banyak kemudahan untuk bermain dan belajar.

Mereka, anak-anak Papua, menanti uluran tangan kita! Mereka membutuhkan guru. Guru yang akan mengajari mereka membaca, menulis, berhitung; guru yang akan memperkenalkan mereka dengan Albert Einstein, Issac Newton dan ilmuwan kelas dunia lainnya; guru yang akan menghantarkan mereka pada cita-cita untuk bumi kelahirannya, Papua. Ah kawan, tidakkah kau dengar panggilan itu? Panggilan kecil mereka untuk menyuntingmu menjadi guru.

copyright @ Ratna Sofia Harriyati.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments:

  1. boleh minta foto gag?

    ReplyDelete
  2. sa mahasiswa guru skrg, sa pu cita-cita besar untk sa pu adik-adik di Papua

    ReplyDelete

Please leave your comment here :