... Tergambarlah sebuah ruangan. Hanya ada enam bola mata. Beberapa diantaranya memerah. Enam bola mata. Semuanya bersaudara. Ada dua hati yang saling menjaga, meski diliputi amarah. Satu diam. Satu terbata. Sedang satu lagi gemas karena yang terdengar hanyalah desah nafas, bukan lantunan suara. Ingin marah. Ingin memaki. Tapi rasa sayang lebih besar daripada rasa lainnya. Memori berkeliaran pasrah di alam bawah sadar dua hati yang kini memanas. Rasa marah, kesal, rindu, berbaur menjadi entah apa namanya. Lebur. Ingin sekali membunuh semua rasa. Biarkan saja tanpa rasa. Tapi apalah daya, memori yang dengan lancangnya berkeliaran di benak mereka, tak sanggup membunuh satu rasa yang pernah ada.
Saudara, ya mereka saudara. Sesaat, mengalirlah ucapan, atau mungkin ungkapan. Amat berhati-hati. Meski marah, tak ingin ia sakiti lawan bicaranya. Sedang satu lagi tertunduk pasrah, berusaha mengulun senyum, meski dengan sekuat tenaga ia tahan desakan airmatanya. Pelupuknya memerih, meski cepat-cepat ia telungkupkan tangan agar tak basah pipinya..
Tergambar sudah atmosfer ruang lampau itu. Pengap.
Meski usai, tak satupun bisa kembalikan semuanya.
….
Stevia, Juni 2011.
-Sebuah kisah tentang atmosfer persaudaraan yang tiba-tiba pengap-
Tergambar sudah atmosfer ruang lampau itu. Pengap.
Meski usai, tak satupun bisa kembalikan semuanya.
….
Stevia, Juni 2011.
-Sebuah kisah tentang atmosfer persaudaraan yang tiba-tiba pengap-
Sebuah ruang yang hanya bisa dinikmati, bukan diubah.
ReplyDeleteThat's the point :) jadi pelajaran, bukan penyesalan .. walaupun kenyataannya sulit ya, gan :D
ReplyDeletecerpen, atau...??
ReplyDeletekalau dilihat dari kata 'tergambarlah' sepertinya masuk paragraf deskripsi.. tapi kalau dilihat dari tenses, sepertinya narasi..
ReplyDeletejadi mungkin gabungan dari itu :) #ngaco
terus terang, ane suka banget sama tulisan satu ini. ga tau kenapa :D
ReplyDelete